
Pria itu berwajah sedikit muram, sedikit bahagia. Entah, mungkin ia
memiliki masalah, mungkin juga ia mendapatkan kebahagiaan di waktu yang
sama. Tampaknya, pria itu berumur pertengahan 30-an, mungkin saja lebih.
Ia mengenakan polo shirt berwarna hitam dan celana kain hitam
juga. Ia sedang menuliskan sesuatu di atas sebuah kertas menggunakan
bolpoinnya, aku mengamati dengan seksama. Setidaknya, itulah yang aku
lihat, aku bukan pencerita yang baik, kan?
Sudah dua jam aku duduk, pria itu masih saja menulis dan kadang ia
tampak gusar dengan tulisannya sendiri. Sampai akhirnya, mungkin pria
itu telah menemukan tanda titik untuk tulisannya. Ia berdiri, membayar
harga secangkir kopi yang menemaninya dan meninggalkan kafe itu. Tetapi,
ada yang aneh. Ya, benar, sangat aneh untukku. Kertas yang sedari tadi
ia gunakan untuk menulis malah ditinggalkan begitu saja di atas meja.
Aku penasaran, rasa penasaran itu melebihi rasa ingin memilikimu dulu.
Seorang pelayan segera menghampiri meja itu dan membersihkannya, dengan
sigap aku memanggil pelayan itu, "Mbak!" entah apa yang aku pikirkan
saat itu, tanganku terangkat dan dengan spontan mencegah pelayan itu
membersihkan meja pria itu.
"Ya? Ada apa?" pelayan itu menghampiriku, aku berhasil mencegahnya membereskan meja pria tua itu.
"Boleh aku minta kertas yang ada di atas meja itu?" tanyaku sambil menunjuk meja pria itu.
"Oh, oke. Saya bawakan ke sini ya." dengan sopan, pelayan itu
menyanggupi permintaanku. Ia melangkah ke meja itu dan mengambil kertas
yang tampak usang penuh goresan tinta di mana-mana. Pelayan itu
mengamati sebentar, dibolak-balikkannya kertas itu dengan memicingkan
mata. Seolah mencari apa yang penting dari kertas itu. Lalu, ia kembali
menghampiriku membawa kertas itu.
"Silakan, mba." ucapnya sambil meletakkan kertas itu di atas mejaku.
"Terima kasih, mbak." kataku sambil tersenyum. Pelayan itu kembali ke
meja pria itu dan membersihkannya, sekarang aku mengamati kertas itu
dengan seksama. Aku menemukkan beberapa tulisan yang tidak aku pahami.
Sepertinya itu sajak, atau mungkin hanya sebuah curhat yang diperindah
saja, aku tidak tahu dan tidak mampu membedakannya. Ya, karena aku bukan
penyair dan penulis yang baik, buat apa membeda-bedakan tulisan yang
menurutku indah, kan?
Aku membacanya dengan seksama, dengan pelan-pelan agar paham arti
tulisan pria itu. Tanpa sadar, aku mulai merasa haru yang dalam di hati.
Aku terdiam, membisu. Paling tidak, begini tulisan pria itu di atas
kertas:
"Aku tidak tahu apa yang aku tuliskan untukmu. Paling tidak, mungkin
ini bagian dari perasaanku. Aku tidak tahu apa kau mampu memahami
tulisan ini, namun untukku, tulisan ini lebih dari cukup untuk
menceritakan perjalanan hati ke hati.
Bagaimana kalau kita lepas topeng tawa yang selama ini kita kenakan?
Sehingga nanti, kita bisa berbicara dengan penuh kejujuran. Atau paling
tidak, kita hentikan saja opera kita, penonton tidak tertawa, kita
sedih, kita terluka. Sudahi drama ini, kita musnahkan peran kita di
hadapan mereka untuk bicara jujur dari hati ke hati.
Atau mungkin kau tidak terluka? Bisa saja aku berkata seperti itu
juga. Lalu, siapa yang terluka? Apa ini masih bagian dari segala cerita
yang kau ciptakan agar mereka tertawa dan kita ikut bahagia? Apa tidak
ada rasa lelah dalam dirimu dengan peran yang kita mainkan? Atau memang
segala drama adalah seluruh kehidupan untukmu?
Ada hal yang lebih menyakitkan ketimbang kita yang terdiam, yaitu penyesalan.
Kau bebas memilihnya, melanjutkan perjalanan dengannya. Paling tidak,
jangan ada penyesalan mendalam dan akhirnya kita tidak mampu kembali
pulang pada kebahagiaan.
Orang-orang berkata: 'lupakan ia, syukuri yang ada'. Kalau ternyata
yang ada hanya orang yang sempat, masih kah kita berhenti berharap
terhadap ia yang mungkin tepat?
Kau dan aku pernah bermimpi di suatu tempat, bersama-sama merasa
nyaman yang tak bertuan. Bebaskan saja, lepaskan topeng itu dan kita
berbicara sebagai manusia. Dengan hati, tanpa saling membohongi."
Tak lama kemudian, aku mendengar keriuhan pejalan kaki di sekitar kafe.
Seorang pria tua terjun dari gedung beberapa blok dari kafe itu, kata
mereka yang berbisik-bisik dengan pelayan kafe. Akhir kisah yang sangat
menyedihkan dan penuh penyesalan. Tanganku bergetar, aku mengingatmu
lagi dan sepertinya memang ada penyesalan di cerita kita.
Fin.
-Jogja, 20 November '13-
