Sabtu, 01 Maret 2014

Sajak Tentang Jarak


Adi,

Kita terpisah milyaran jejak. Seperti gelisah yang tidak pernah menyerah, rindu berusaha agar kita berjumpa. Semestinya jarak ini bukan kita kutuk, karena jarak yang menyadarkanku betapa pentingnya dirimu dan betapa berharganya waktu.

Jarak yang kita tangisi adalah jarak yang membuat rindu kita saling mengisi. Tidak ada yang katakan menghadapi jarak perkara mudah namun aku enggan menyerah. Karena sejauh apapun melangkah, ada hatimu sebagai rumah. Kepercayaan ini mengoyak jarak, doa-doa kita di angkasa berarak. Kita adalah dua manusia yang tak akan retak.

Minggu, 24 November 2013

Topeng Tawa

Sore itu, aku duduk di tepi jendela. Tentu saja di kafe biasa kita berjumpa, berbicara, dan tentu saja bertukar cerita. Terpisah beberapa meja di hadapanku, ada seorang pria tua yang tampak bijak. Tentu, banyak orang berkata padaku, "jangan menilai orang dari penampilannya saja." layaknya sebuah buku. Namun, wajah pria itu memang bijak, aura dan gerak tubuhnya sangat bijak. Begitu penilaianku.
Pria itu berwajah sedikit muram, sedikit bahagia. Entah, mungkin ia memiliki masalah, mungkin juga ia mendapatkan kebahagiaan di waktu yang sama. Tampaknya, pria itu berumur pertengahan 30-an, mungkin saja lebih. Ia mengenakan polo shirt  berwarna hitam dan celana kain hitam juga. Ia sedang menuliskan sesuatu di atas sebuah kertas menggunakan bolpoinnya, aku mengamati dengan seksama. Setidaknya, itulah yang aku lihat, aku bukan pencerita yang baik, kan?
Sudah dua jam aku duduk, pria itu masih saja menulis dan kadang ia tampak gusar dengan tulisannya sendiri. Sampai akhirnya, mungkin pria itu telah menemukan tanda titik untuk tulisannya. Ia berdiri, membayar harga secangkir kopi yang menemaninya dan meninggalkan kafe itu. Tetapi, ada yang aneh. Ya, benar, sangat aneh untukku. Kertas yang sedari tadi ia gunakan untuk menulis malah ditinggalkan begitu saja di atas meja. Aku penasaran, rasa penasaran itu melebihi rasa ingin memilikimu dulu.

Seorang pelayan segera menghampiri meja itu dan membersihkannya, dengan sigap aku memanggil pelayan itu, "Mbak!" entah apa yang aku pikirkan saat itu, tanganku terangkat dan dengan spontan mencegah pelayan itu membersihkan meja pria itu.
"Ya? Ada apa?" pelayan itu menghampiriku, aku berhasil mencegahnya membereskan meja pria tua itu.
"Boleh aku minta kertas yang ada di atas meja itu?" tanyaku sambil menunjuk meja pria itu.
"Oh, oke. Saya bawakan ke sini ya." dengan sopan, pelayan itu menyanggupi permintaanku. Ia melangkah ke meja itu dan mengambil kertas yang tampak usang penuh goresan tinta di mana-mana. Pelayan itu mengamati sebentar, dibolak-balikkannya kertas itu dengan memicingkan mata. Seolah mencari apa yang penting dari kertas itu. Lalu, ia kembali menghampiriku membawa kertas itu.
"Silakan, mba." ucapnya sambil meletakkan kertas itu di atas mejaku.
"Terima kasih, mbak." kataku sambil tersenyum. Pelayan itu kembali ke meja pria itu dan membersihkannya, sekarang aku mengamati kertas itu dengan seksama. Aku menemukkan beberapa tulisan yang tidak aku pahami. Sepertinya itu sajak, atau mungkin hanya sebuah curhat yang diperindah saja, aku tidak tahu dan tidak mampu membedakannya. Ya, karena aku bukan penyair dan penulis yang baik, buat apa membeda-bedakan tulisan yang menurutku indah, kan?
Aku membacanya dengan seksama, dengan pelan-pelan agar paham arti tulisan pria itu. Tanpa sadar, aku mulai merasa haru yang dalam di hati. Aku terdiam, membisu. Paling tidak, begini tulisan pria itu di atas kertas:
"Aku tidak tahu apa yang aku tuliskan untukmu. Paling tidak, mungkin ini bagian dari perasaanku. Aku tidak tahu apa kau mampu memahami tulisan ini, namun untukku, tulisan ini lebih dari cukup untuk menceritakan perjalanan hati ke hati.

Bagaimana kalau kita lepas topeng tawa yang selama ini kita kenakan? Sehingga nanti, kita bisa berbicara dengan penuh kejujuran. Atau paling tidak, kita hentikan saja opera kita, penonton tidak tertawa, kita sedih, kita terluka. Sudahi drama ini, kita musnahkan peran kita di hadapan mereka untuk bicara jujur dari hati ke hati.

Atau mungkin kau tidak terluka? Bisa saja aku berkata seperti itu juga. Lalu, siapa yang terluka? Apa ini masih bagian dari segala cerita yang kau ciptakan agar mereka tertawa dan kita ikut bahagia? Apa tidak ada rasa lelah dalam dirimu dengan peran yang kita mainkan? Atau memang segala drama adalah seluruh kehidupan untukmu?

Ada hal yang lebih menyakitkan ketimbang kita yang terdiam, yaitu penyesalan.

Kau bebas memilihnya, melanjutkan perjalanan dengannya. Paling tidak, jangan ada penyesalan mendalam dan akhirnya kita tidak mampu kembali pulang pada kebahagiaan.

Orang-orang berkata: 'lupakan ia, syukuri yang ada'. Kalau ternyata yang ada hanya orang yang sempat, masih kah kita berhenti berharap terhadap ia yang mungkin tepat?

Kau dan aku pernah bermimpi di suatu tempat, bersama-sama merasa nyaman yang tak bertuan. Bebaskan saja, lepaskan topeng itu dan kita berbicara sebagai manusia. Dengan hati, tanpa saling membohongi."


Tak lama kemudian, aku mendengar keriuhan pejalan kaki di sekitar kafe. Seorang pria tua terjun dari gedung beberapa blok dari kafe itu, kata mereka yang berbisik-bisik dengan pelayan kafe. Akhir kisah yang sangat menyedihkan dan penuh penyesalan. Tanganku bergetar, aku mengingatmu lagi dan sepertinya memang ada penyesalan di cerita kita.
Fin.
-Jogja, 20 November '13-

Sabtu, 30 Maret 2013

Saat kupu-kupu itu terbang

Kami lama saling berpandang, saling berlari, saling meluapkan isi hati dan pikiran. Aku memperhatikannya, kupu-kupu yang sangat indah. Cantiknya tak jauh beda dengan bunga-bunga indah yang bermekaran di taman. Dia berlari gesit sambil mengepakkan sayapnya yang membentang penuh pesona…
.
Tapi semua itu tak lama, kini dia terbang. Bukankah aku tahu bahwa ia tak akan bertahan? Ia tak akan mungkin menungguku, karena aku tak memiliki sayap sepertinya. Dia terbang, karena disana ada begitu banyak bunga yang lebih indah, menantinya…
.
Dan akupun tak mungkin menunggunya disini, karena diapun tak pernah tahu dan tak pernah mau tahu jika aku menunggunya. Dia terbang, dan aku berlalu mengejar waktu, yang sudah sekian lama tertinggal…
.
Yah, dia terbang… meraih mimpi dan harapannya…
.
Esok, jikapun kami bertemu, aku akan tetap sama, tak akan pernah menahannya… terbang…

Jumat, 29 Maret 2013

Cinta tak Berbalas?

Sedalam apa kau memaknai kata cinta? Apa sekedar karena orang yang kau cintai punya kelebihan? Apa karena hal yang kau cintai menyenangkan? Apa sebatas pesona keindahan fisik yang menawan dan membuatmu tertawan? Atau sesuatu yang harus kau dapatkan bagaimanapun caranya?
Lalu ketika cinta itu berbenturan dengan kenyataan, bahwa yang kau cintai bukan untukmu, bahwa apa yang kau cintai menuntut pengorbananmu … lantas, apa rasa cinta itu tak berarti apa-apa?
Kau tahu? Energi cinta adalah energi seluas samudera, yang gelombangnya membentang hingga ke ujung benua, yang gemuruhnya begitu indah dan luar biasa… dan kau akan menyadari, bahwa setiap apa yang kau dapatkan… adalah buah energi cintamu…
Ya, tak ada cinta yang tak berbalas…
Lalu mengapa kita masih tidak mencintai Allah dan RasulNya dengan segenap jiwa?

Surat untuk Hatiku

Untuk hatiku yang masih menanti, menantilah dengan cinta. Cinta yang akan membuatmu menerima apapun kehendakNya. Kelak kau akan sadari, cintamu karenaNya akan membuat penantian itu tak pernah sia-sia.
Untuk hatiku yang masih menunggu, menunggulah dengan senyum. Senyuman ridlo pada siapapun yang selalu menanyakannya. Katakan pada mereka, hatiku tak akan pernah kesepian dalam setiap belaian ketetapanNya.
Untuk hatiku yang masih mencari, carilah dengan ikhtiar yang suci. Ikhtiar tanpa nafsu dan paksaan waktu, ikhtiar dengan harapan dan ketundukan, melangkah dalam koridor di jalanNya.
Untuk hatiku yang masih merindu, rinduilah Dia yang paling layak untuk dirindu. Kelak kau akan tahu, merindukanNya adalah penantian dan pencarian yang terindah.
Untuk hatiku, sesungguhnya kau dan aku berada dalam genggamanNya, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan selama kita bersandar kepadaNya. Ah, Dia mencintai kita, kau juga tak pernah meragukannya kan?
Hari ini kutulis surat untuk hatiku, berharap hati ini hanya menanti, menunggu, mencari dan merindu karenaNya. Amin